Lanjut ke konten

Azhari Sastranegara: Ahli Analisis Keamanan Struktur & Bahan dari Benturan di Jepang

Maret 6, 2010

Lelaki itu bersepeda menuju kantornya, NSK Ltd. Setiap hari, dia mengayuh sepeda selama 15 menit dari rumahnya di House Malonie Nomor 2, Fujisawa-shi, Kanagawa, Jepang. Sekilas dia adalah pria kampung Jepang biasa. Nyaris tak ada yang tahu bahwa dia pria penting. Dia adalah DR. Azhari Sastranegara, salah satu ahli top di Jepang dalam bidang analisis keamanan struktur terhadap benturan.

Di kantornya itu, design engineer yang lahir 11 April 1976 ini selalu menghabiskan sebagian harinya di Automotive Bearing Technology Department. “Pulang kantor pukul 18.00, kalau lagi lembur pukul 20.00,” ujar Azhari.

Doctor of engineering dari Tokyo Institute of Technology, Jepang, itu bergabung dengan produsen bearing dan komponen otomotif tersebut sejak April 2005. Awalnya ia berkarier sebagai research engineer di NSK Research and Development Center. “Tema penelitian saya cukup beragam, berkisar pada analisis struktur dan bahan terhadap benturan,” ujar Azhari.

Salah satu riset pria kelahiran Majene, Sulawesi itu adalah tentang desain kemudi kendaraan yang aman. Dalam penelitian itu, tugasnya melakukan perhitungan apakah rancangan kemudi yang diajukan oleh bagian desain sudah memenuhi syarat keamanan ketika terjadi tabrakan. Dari aneka penelitian itu, Azhari dan timnya di NSK menghasilkan enam paten yang kini terdaftar di Japan Patent Office.

NSK ternyata juga bukan tempat kerja pertamanya. Sebelumnya, Azhari—yang meraih gelar doktor dengan disertasi berjudul “Effect of Transverse Impact on Energy Absorption of Column”—sempat menjadi asisten dosen di Tokyo Institute of Technology. Di kampus itu pula Azhari merampungkan pendidikan dari S-1 sampai S-3 (Ph.D).

Dia belajar di kampus itu setelah lulus dari SMA Taruna Nusantara, Magelang, Jawa Tengah, pada 1994. Modalnya: beasiswa Mitsui Bussan Indonesia Scholarship, yang menyeleksi peserta dari pelajar SMA se-Jawa dan Bali. Beasiswa itu cuma untuk menyelesaikan sarjana strata satu. Jadi, saat melanjutkan ke strata dua, “Saya kuliah sambil bekerja paruh waktu,” ujarnya. Pada program S-3 (Ph.D), ia kembali mendapatkan beasiswa—kali ini dari Moritani Scholarship dan Tsuji Asia Scholarship.

Setelah memperoleh gelar doktor, Azhari sempat ingin kembali ke Tanah Air. Namun, ia tak mendapatkan tempat untuk mengaplikasikan pengetahuan yang dimilikinya. “Jaringan kerja saya juga belum ada,” ujarnya. Dia pun memutuskan menimba ilmu di perusahaan Jepang, yang muatan penelitiannya banyak.

Walaupun sudah menetap lama di Jepang, kehidupan ayah tiga anak ini memang tak lepas dari Indonesia. Bahkan dua anaknya, yang duduk di kelas V dan kelas II sekolah dasar, saat ini belajar di Tanah Air. Anak Azhari tinggal bersama kakek dan nenek mereka di Pejaten, Jakarta Selatan. Sebelumnya, mereka belajar Kanji dan bahasa Jepang di Negeri Matahari Terbit itu. Namun, Azhari khawatir mereka akan lupa bahasa dan budaya Indonesia. “Karena itu, saya sekolahkan mereka di Tanah Air,” ujar suami Nesia Andriana ini.

Jika rasa kangen terhadap Tanah Air melanda, Azhari akan segera menelepon keluarganya di Indonesia. Selain itu, ia menghadiri berbagai acara di Kedutaan Besar Indonesia dan Sekolah Republik Indonesia di Tokyo, seperti bazar, perayaan 17 Agustus, dan pengajian bulan Ramadan. Azhari pun masih suka pulang kampung. “Saya pulang ke Indonesia sekali dalam dua tahun,” ujarnya.

Dia berharap bisa segera kembali ke Tanah Air. “Bagaimanapun hidup di budaya sendiri, memakai bahasa sendiri, bertemu handai taulan dengan segala suka-dukanya jauh lebih menyenangkan dibanding hidup di Jepang,” ujarnya.

Sumber: Koran Tempo

Tinggalkan komentar