Lanjut ke konten

I Made Sudiana: Doktor Ahli Mikrobia yang Diminta Pindah ke Malaysia

Februari 18, 2010

Seorang mahasiswa dari Malaysia takjub melihat hasil pengembangan teknologi molekuler berbasis mikrobia yang dilakukan I Made Sudiana. Mahasiswa itu menduga tentu besarlah gaji Sudiana. Namun, jawaban Sudiana tentang gajinya membuat si mahasiswa spontan mengatakan,”Pindah saja ke Malaysia.”

Sudiana menekuni riset ekologi mikrobia di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Ini bermula dari rasa ingin tahu dia terhadap sejatinya proses fermentasi minuman khas Bali, brem, itu seperti apa. Ia menemukan jawabnya. Brem itu hasil kinerja mikrobia. Istilah mikrobia tak ubahnya mikroba, mikroorganisme, atau jasad renik.

”Orang UGM (Universitas Gadjah Mada) lebih suka menggunakan istilah mikrobia,” ujar Sudiana saat ditemui akhir Januari lalu di laboratorium Cibinong Science Center LIPI, Cibinong, Jawa Barat.

Pria kelahiran Pangyangan, Jembrana, Bali, ini lulus Fakultas Biologi UGM tahun 1987. Setelah memahami peran mikrobia pada fermentasi brem bali, ia justru semakin ingin tahu tentang ilmu mikrobia.

Pada 1985-1987 Sudiana menjadi asisten dosen Mikrobiologi dan Ekologi di Fakultas Biologi UGM. Tahun 1988 ia diterima menjadi periset mikrobiologi LIPI. Dia lalu melanjutkan studi S-2 Environmental Sanitation State University of Ghent di Belgia (lulus 1992), lalu S-3 Urban and Environmental Engineering University of Tokyo, Jepang (1998).

Tak berhenti di sini, Sudiana menempuh studi lanjut, Post Doc in Molecular Ecology for Agriculture Sciences di Japan International Research Center for Agricultural Center (Jircas) dan lulus tahun 2004. Ia juga mengambil Post Doc in Biodiversity Management Institute of Advance Studies United Nation University, Yokohama, Jepang (2005).

Pengelanaan intelektualitas Sudiana mengantarnya pada pemahaman mendalam tentang ekologi mikrobia. ”Melalui teknologi molekuler dan bioinformatika memungkinkan pemanfaatan metagenomik gen-gen alam pada mikrobia untuk kemaslahatan manusia,” ujarnya.

Sayangnya, riset Sudiana tentang mikrobia itu relatif tak dianggap bernilai oleh pemerintah. Para pejabat berkepentingan pun tak tertarik meliriknya, apalagi keinginan untuk mengetahui lebih dalam dan mengimplementasikan manfaat mikrobia untuk bidang seluas mungkin. Padahal, bagi Sudiana, mikrobia bisa diibaratkan pasukan bersenjata yang dapat digerakkan sewaktu-waktu untuk bertempur melawan pencemar ekosistem.

”Keanekaragaman hayati mikrobia itu seperti pada ekologi hewan dan tumbuhan. Keanekaragaman tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.”

Teknologi molekuler dan bioinformatika, menurut dia, dapat digunakan untuk mengetahui manfaat mikrobia, yang jenisnya mencapai ribuan spesies. Sebagai contoh, belum lama ini Sudiana bersama timnya mengimplementasikan mikrobia untuk bioremediasi atau pemulihan lahan bekas dan terdampak tambang Freeport di Papua.

Dia menganalisis kandungan pencemar, dan menemukan konsorsia atau himpunan spesies mikrobanya. Maka, ditemukanlah spesies mikroba Bacillus sp dan Pseudomonas sp yang kemudian dibiakkan untuk melarutkan fosfat berlebih yang terkandung dalam tanah tercemar tambang Freeport.

”Mikrobia yang ibarat hewan atau tumbuhan ini juga butuh makanan, yang dapat diupayakan dari bahan pupuk organik,” ujarnya.

Institusi tempat dia bekerja, LIPI, tengah mengemas teknologi tersebut. LIPI memadukan mikrobia dan pupuk organik menjadi produk teknologi beyonic. Beyonic tak sekadar pupuk organik, tetapi telah disisipkan mikrobia tertentu untuk menangani, antara lain, lahan tercemar akibat aktivitas tambang, limbah industri, ataupun limbah domestik.

”Mikrobia yang dipakai itu syaratnya terdapat di lokasi setempat. Di tempat itu pasti ada banyak mikrobia. Jadi, lebih dulu perlu identifikasi mikrobia menguntungkan, baru sampelnya diambil untuk dikembangbiakkan,” katanya.

Sudiana juga sudah mengumpulkan dan menyimpan sejumlah sampel mikrobia dari ratusan tempat tersebar mulai dari Papua sampai Aceh. Mikrobia itu dia ambil dari setiap lokasi penting, seperti wilayah perawan di hutan alam, ekosistem pantai, lahan permukiman, lahan bekas dan terdampak tambang, serta lahan tercemar.

”Sampel mikrobia wilayah tambang batu bara Kalimantan juga sudah saya ambil. Kalau mau, itu bisa dimanfaatkan untuk bioremediasi bekas tambang batu bara,” katanya.

Bioremediasi Teluk Jakarta yang menerima bahan-bahan pencemar melalui 13 sungai pun ditempuhnya. ”Sampel mikrobia yang memiliki bioprospeksi pemulihan Teluk Jakarta pun sudah saya ambil,” ucap Sudiana.

Di laboratoriumnya yang dilengkapi mesin pembeku sampai minus 80 derajat celsius itu tersimpan koleksi sampel sejumlah mikrobia. ”Bank mikrobia” Sudiana siap dikembangbiakkan menjadi sepasukan konsorsia jasad renik untuk misi menyelamatkan ekosistem di sejumlah wilayah di Indonesia.

Untuk menuju pencapaian tersebut, Sudiana sudah menghabiskan waktu sekitar 22 tahun untuk riset. Memang menakjubkan, sayangnya hasil yang dia capai itu tak dimanfaatkan optimal.

Sumber: Nawa Tunggal, Kompas, LIPI

3 Komentar leave one →
  1. A.J.I permalink
    Februari 18, 2010 11:35 pm

    profesor indonesia banyak yg lari ke luar nagari cz mereka dapat menyalurkan ilmunya disana, kalau di indonesia?? jangan harap ada perusahaan swasta yg mau membiayai penelitian dan pemikiran mereka hhh,,,,

  2. cici permalink
    Juni 3, 2010 11:35 am

    Emank… hidup di Indonesia nich.. orang2 pintar yang mempunyai kemampuan tdk bisa berekspresi.. coba aja tuch.. lihat bapak kita B.J Habibie.

Trackbacks

  1. rumahpengetahuan.web.id » Blog Archive » Made Sudiana: Doktor Ahli Mikrobia yang Diminta Pindah ke Malaysia_rumahpengetahuan.web.id

Tinggalkan komentar